top of page
Search

Tangguh secara emosional di masa pandemik

  • Writer: cognito indonesia
    cognito indonesia
  • Jul 15, 2020
  • 3 min read

Peserta Didik; Tangguh Secara Emosi di Masa Pandemi

Rukiana Novianti, M.Psi., Psikolog

(Psikolog Pendidikan)

Pada umumnya emosi diartikan sebagai suatu keadaan perasaan yang sifatnya kompleks dengan memunculkan kegiatan motorik/reaksi tubuh secara spontan. Misalnya saat melihat ular muncul rasa takut yang membuat seseorang menghindar atau ketika sesuatu yang diharapkan tidak berjalan sesuai keinginan muncul rasa sedih atau kecewa sehingga membuat orang tersebut menangis. Menurut Hurlock salah satu tokoh psikologi perkembangan yang paling populer seringkali mencontohkan misalnya “bayi merasa yang merasa tidak senang karena celana atau popok basah, maka dia mengubah posisi tubuhnya, membuat suara atau tangisan yang keras. Nah, semua hal tersebut berkaitan dengan respon emosi yang dimunculkan oleh seseorang.

Emosi memiliki peran yang besar dalam memengaruhi perilaku kita. Apalagi pada situasi pandemi seperti sekarang ini. Dimana banyak kondisi yang dapat memicu munculnya emosi-emosi yang tidak menyenangkan. Bahkan biasanya emosi tersebut bisa disertai dengan reaksi fisik seperti sakit perut, kepala, pusing, sesak, ingin muntah, dan lain sebagainya. Beberapa artikel media online ataupun media cetak banyak yang telah menuliskan terkait beberapa keluhan siswa/peserta didik selama masa pandemic ini. Dimana keluhan umum yang dirasakan siswa seperti kejenuhan krn telalu lama di rumah, perasaan khawatir akan tertinggal pelajaran, rasa tidak senang karena selalu mengerjakan tugas namun tidak diberi penjelasan, sedih karena tidak bisa kumpul dan main dengan teman-teman, bahkan dari laman KPAI menuliskan ratusan siswa mengeluh “Tugas maha berat”.

Jika menelaah pada beberapa hal yang dikeluhkan oleh siswa, dasarnya hal tersebut merupakan suatu kewajaran jika dikeluhkan diawal mulanya diberlakukan aturan terkait school from home (SFH) atau belajar dari rumah. Karena perlu kita pahami, bahwa salah satu tuntutan yang tidak mudah bagi anak yaitu kemampuan dalam menyesuaikan diri. Tidak semua anak mampu dengan mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan suasana belajar baru. Reaksi awal biasanya berupa penolakan, munculnya keluhan sampai pada titik anak mampu menerima atau bahkan pada situasi dimana anak tetap resisten pada lingkungannya yang berdampak pada munculnya emosi-emosi negatif yang diekspresikan oleh anak. Namun jika melihat lagi pada situasi sekarang, dimana SFH telah berlangsung selama lebih dari 3 bulan, artinya pada fase ini sebagian besar siswa dapat dikatakan sudah bisa menerima atau beradaptasi pada situasi yang baru.

Kemudian, untuk membentuk siswa/peserta didik yang tangguh secara emosi beberapa hal yang dapat dilakukan diantaranya:

1. Kenali emosi anak. Jika pada anak yang belum tahu atau belum mampu mengemukakan kondisi emosi yang dirasakan (biasa terjadi pada siswa SD) maka orangtua perlu membantu memberi label. Misalnya dengan mengatakan “kamu sedih ya, karena rindu sama teman-teman sekolahmu”. Tapi jika pada remaja maka hal tersebut lebih mudah karena dapat dilakukan dengan mengajak anak berdiskusi, kemudian validasi emosi yang dirasakan anak.

2. Peka akan kebutuhan dan kondisi emosi anak. Misalnya dengan mengamati melalui pandangan mata, ekspresi, tingkah laku anak yang dianggap berbeda dari biasanya.

3. Penuhi dulu kebutuhan emosi anak. Misalnya jika anak marah artinya ia butuh untuk didengarkan; Jika anak sedih, ia butuh untuk dihibur. Hal ini juga dapat meningkatkan kelekatan antara orangtua dan anak. Anak akan merasa dipahami oleh orangtuanya dan tak perlu khawatir jika ingin mengeluhkan apapun pada orangtuanya.

4. Jika anak sudah mampu diajak komunikasi, ajarkan anak teknik stabilisasi atau relaksasi (hal ini dapat dilakukan pada siswa SMA). Misalnya dengan latihan pernafasan sampai anak merasa ada perubahan yang baik pada tubuh dan perasaannya.

5. Minta anak mengekspresikan emosinya melalui media menggambar atau olahraga.

6. Ajarkan Ananda manajemen waktu sehingga pola belajar anak dapat dijadwalkan terbentuk menjadi kebiasaan belajar yang baik. Karena jika ada pengaturan waktu belajar yang jelas bisa mengurangi kekhawatiran dan kecemasan anak terkait tugas belajarnya.

Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa kecerdasan emosi berkaitan dengan prestasi belajar anak/hasil belajar anak. Sehingga dapat diasumsikan bagaimana anak mengelola diri atau emosi akan berpengaruh pada bagaimana ia mampu mengelola masalah, meningkatkan daya ingat, dan melakukan interaksi di lingkungannya. Semoga orangtua dan pendidik dapat menjadi salah satu fasilitator terbaik bagi anak/peserta didik sehingga tangguh dari segi emosi selama masa pandemic ini.




 
 
 

留言


bottom of page